We Are Creative Design Agency

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Illum, fuga, consectetur sequi consequuntur nisi placeat ullam maiores perferendis. Quod, nihil reiciendis saepe optio libero minus et beatae ipsam reprehenderit sequi.

Find Out More Purchase Theme

Our Services

Lovely Design

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Great Concept

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Development

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

User Friendly

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Recent Work

PNS Harus Tinggalkan Mental Priyayi

PNS Harus Tinggalkan Mental Priyayi

Oleh: NANI EFENDI

Mengapadi Indonesia para pemudanya berebutan untuk jadi PNS? Mengapa setiap ada penerimaan PNS peserta tesnya selalu membludak seperti orang demo mau menurunkan presiden dari jabatannya? Bahkan, mereka rela berdesak-desakan, terinjak-injak, dan pergi ke daerah yang jauh-jauh hanya untuk mendapatkan nomor peserta tes dan ikut tes CPNS. Kalau ditanya, khususnya anak-anak muda, jawabannya relatif sama: jadi PNS itu enak, nyaman, aman masa depan, bisa memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat, mendapat gaji yang lumayan besar yang setiap tahun naik, dan lain-lain jawaban yang serupa. Jarang sekali saya mendengar jawaban, “Ingin mengabdi pada negara dan melayani masyarakat”.
 
    Semangat mereka kebanyakannya sama: ingin enak dan tak ingin susah, ingin dihormati, ingin dilayani dan bukan melayani, ingin menguasai, ingin mengatur, dan ingin memerintah. Persis seperti mental kebanyakan para ambtenaar zaman penjajahan Belanda di masa lalu. Dulu, zaman pemerintahan Hindia Belanda, PNS atau pegawai negeri dinamakan “ambtenaar”. Dalam struktur sosial masyarakat zaman kolonial Belanda di masa lalu, para ambtenaar digolongkan sebagai kaum priyayi, yaitu kaum yang tergolong ke dalam kelas atas masyarakat yang masih feodal. Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis besar Indonesia yang pernah jadi kandidat pemenang Nobel, dalam bukunya Sang Pemula, menjelaskan karakter dan mental kaum ini, yaitu: konsumtif, tidak produktif, dan tidak kreatif. Watak dan impian kasta ini adalah hal-hal yang bersifat simbol seperti pangkat dan kehormatan, bintang, payung, selempang, pita, dan gelar. Gelar tertinggi yang mereka impikan adalah: Pangeran, Arya, Adipati, dan Tumenggung. Sedangkan pangkat yang mereka gairahi adalah bupati—pangkat tertinggi di luar daerah kerajaan yang dapat dicapai oleh Pribumi pada zaman penjajahan Belanda (lihat Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1985: 14).

     Tidak ada kebebasan berpikir dalam kasta ini. Mereka terkekang oleh budaya yang penuh dengan kehormatan yang irasional dan semu. Oleh karenanya, pemuda dan pemudi yang berasal dari keluarga ningrat atau priyayi atau keluarga kelas bangsawan, namun mereka terpelajar dan berpikiran maju, mereka pada umumnya memilih keluar dari “kekangan” sistem keluarganya. Beberapa contoh, misalnya, HOS Tjokroaminoto, R.A. Kartini (tokoh emansipasi wanita Indonesia), Bung Karno, Tjipto Mangoenkoesoemo, Dewi Sartika, Tirto Adhi Soerjo (Bapak Pers Indonesia), dan lain-lain. Bahkan, Tirto Adhi Soerjo mengatakan, menjadi pegawai negeri kolonial menghilangkan kemerdekaan diri dan kebebasab berpikir. Mereka ini adalah beberapa contoh dari anggota keluarga ningrat atau priyayi yang tidak memiliki mental priyayi. Mereka-mereka ini tidak tertarik untuk menjadi ambtenaar atau pegawai negeri. Mereka memilih bebas. Mereka tidak bersikap seperti kaum priyayi. Kebanyakan mereka bersahaja, bebas berpikir, bebas berkumpul, dan bebas berserikat, karena dengan begitu mereka bisa berbuat sesuatu yang benar-benar nyata untuk kepentingan rakyat.

     Bung Karno, Bung Hatta, dan aktivis-aktivis pejuang bangsa zaman dahulu pernah ditawari untuk bekerja sebagai ambtenaar (pegawai negeri), tapi mereka tolak mentah-mentah. Mereka sedikit pun tidak tertarik jadi ambtenaar. Mereka lebih memilih menjadi aktivis pergerakan. Jadi ambtenaar (PNS pada saat itu), dalam pandangan mereka, bukanlah jalan atau alat perjuangan. Menjadi pegawai negeri ketika itu sama saja dengan mengabdi pada kepentingan kolonial. Kalau mereka jadi PNS saat itu, kemungkinan besar mereka tidak akan pernah memerdekakan bangsa ini. Sebagian besar waktu mereka tentu akan tersita oleh kesibukan sebagai pekerja kantor dengan segala rutinitas, formalitas dan tetek bengeknya, sehingga mereka tidak sempat lagi untuk membaca buku dan berorganisasi atau mendirikan organisasi-organisasi pergerakan. Dan kemungkinan juga mereka tidak akan pernah jadi orang besar sebagaimana yang kita kenal. Mengapa? Ya, karena kebebasan berpikir dan ruang gerak mereka menjadi sempit dan terbatas. Mereka terikat dalam sistem yang bersifat formalistik-simbolik. Oleh karenanya, Tjipto Mangoenkoesoemo mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai ambtenaar (pegawai negeri) karena ia ingin bebas bergerak, berpikir, dan bersuara.

     Namun anehnya, kebanyakan pemuda di Indonesia saat ini tidak menjadikan mereka-mereka itu sebagai salah satu sumber inspirasi. Kebanyakan pemuda kini tetap punya kemauan yang besar untuk jadi pegawai negeri, walaupun dengan jalan menyogok ratusan juta rupiah. Suatu budaya yang salah. Sumber budaya yang salah itu, kalau kita lihat dari latar belakang historisnya, ya dari sistem budaya feodal di Indonesia pada masa lalu itu. Budaya feodal itulah yang masih diwarisi oleh masyarakat modern Indonesia dewasa ini.

   Di masa kolonial, kasta bangsawan-priyayi dipandang sebagai kasta tertinggi dan terhormat. Walaupun pada hakekatnya adalah kehormatan semu dan irasional. Nah, mental priyayi di masa lalu itu pada kenyataannya masih diwarisi juga oleh sebagian besar PNS saat ini. Kebanyakan orang masih menganggap pekerjaan sebagai PNS adalah pekerjaan yang prestisius dan dianggap seperti “kasta bangsawan-priyayi” di masa lalu. Padahal, kalau kita mau menilainya secara rasional, anggapan seperti itu tidaklah berdasar. Irasional. Semestinya, manusia itu dihormati bukanlah dari status sosialnya, tetapi dari kontribusinya bagi peradaban dan kehidupan manusia.

     Oleh karena itu, dalam rangka refomasi birokrasi saat ini, PNS sudah seharusnya meninggalkan mental priyayi, yang—dalam pandangan Pramoedya—sebagaian besarnya gila hormat dan gila jabatan. Mental PNS yang harus dibangun kedepan adalah mental melayani, bukan mental dilayani. PNS harus menjauhkan perilaku eksklusif. PNS yang baik adalah PNS yang menyadari bahwa ia digaji dari uang rakyat. Oleh karena itu, ia harus melayani rakyat secara tulus ikhlas. Menjadi PNS bukan berarti “menjadi ningrat” atau menjadi “kasta bangsawan-priyayi”. PNS hanyalah abdi negara. Mereka punya kewajiban mengabdi pada kepentingan rakyat—karena ia memang hidup dari uang rakyat. Terlalu mahal rakyat menggaji kalau orientasi mereka hanya ingin enak, foya-foya, dan tidak produktif. Dan terlalu mahal mereka digaji dengan uang rakyat kalau hanya ingin dilayani namun enggan melayani masyarakat. Beban anggaran negara kita sudah terlalu berat menanggung biaya pegawai.

NANI EFENDI
Alumnus LK III HMI


PNS Harus Tinggalkan Mental Priyayi

PNS Harus Tinggalkan Mental Priyayi

Oleh: NANI EFENDI

Mengapadi Indonesia para pemudanya berebutan untuk jadi PNS? Mengapa setiap ada penerimaan PNS peserta tesnya selalu membludak seperti orang demo mau menurunkan presiden dari jabatannya? Bahkan, mereka rela berdesak-desakan, terinjak-injak, dan pergi ke daerah yang jauh-jauh hanya untuk mendapatkan nomor peserta tes dan ikut tes CPNS. Kalau ditanya, khususnya anak-anak muda, jawabannya relatif sama: jadi PNS itu enak, nyaman, aman masa depan, bisa memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat, mendapat gaji yang lumayan besar yang setiap tahun naik, dan lain-lain jawaban yang serupa. Jarang sekali saya mendengar jawaban, “Ingin mengabdi pada negara dan melayani masyarakat”.
 
    Semangat mereka kebanyakannya sama: ingin enak dan tak ingin susah, ingin dihormati, ingin dilayani dan bukan melayani, ingin menguasai, ingin mengatur, dan ingin memerintah. Persis seperti mental kebanyakan para ambtenaar zaman penjajahan Belanda di masa lalu. Dulu, zaman pemerintahan Hindia Belanda, PNS atau pegawai negeri dinamakan “ambtenaar”. Dalam struktur sosial masyarakat zaman kolonial Belanda di masa lalu, para ambtenaar digolongkan sebagai kaum priyayi, yaitu kaum yang tergolong ke dalam kelas atas masyarakat yang masih feodal. Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis besar Indonesia yang pernah jadi kandidat pemenang Nobel, dalam bukunya Sang Pemula, menjelaskan karakter dan mental kaum ini, yaitu: konsumtif, tidak produktif, dan tidak kreatif. Watak dan impian kasta ini adalah hal-hal yang bersifat simbol seperti pangkat dan kehormatan, bintang, payung, selempang, pita, dan gelar. Gelar tertinggi yang mereka impikan adalah: Pangeran, Arya, Adipati, dan Tumenggung. Sedangkan pangkat yang mereka gairahi adalah bupati—pangkat tertinggi di luar daerah kerajaan yang dapat dicapai oleh Pribumi pada zaman penjajahan Belanda (lihat Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1985: 14).

     Tidak ada kebebasan berpikir dalam kasta ini. Mereka terkekang oleh budaya yang penuh dengan kehormatan yang irasional dan semu. Oleh karenanya, pemuda dan pemudi yang berasal dari keluarga ningrat atau priyayi atau keluarga kelas bangsawan, namun mereka terpelajar dan berpikiran maju, mereka pada umumnya memilih keluar dari “kekangan” sistem keluarganya. Beberapa contoh, misalnya, HOS Tjokroaminoto, R.A. Kartini (tokoh emansipasi wanita Indonesia), Bung Karno, Tjipto Mangoenkoesoemo, Dewi Sartika, Tirto Adhi Soerjo (Bapak Pers Indonesia), dan lain-lain. Bahkan, Tirto Adhi Soerjo mengatakan, menjadi pegawai negeri kolonial menghilangkan kemerdekaan diri dan kebebasab berpikir. Mereka ini adalah beberapa contoh dari anggota keluarga ningrat atau priyayi yang tidak memiliki mental priyayi. Mereka-mereka ini tidak tertarik untuk menjadi ambtenaar atau pegawai negeri. Mereka memilih bebas. Mereka tidak bersikap seperti kaum priyayi. Kebanyakan mereka bersahaja, bebas berpikir, bebas berkumpul, dan bebas berserikat, karena dengan begitu mereka bisa berbuat sesuatu yang benar-benar nyata untuk kepentingan rakyat.

     Bung Karno, Bung Hatta, dan aktivis-aktivis pejuang bangsa zaman dahulu pernah ditawari untuk bekerja sebagai ambtenaar (pegawai negeri), tapi mereka tolak mentah-mentah. Mereka sedikit pun tidak tertarik jadi ambtenaar. Mereka lebih memilih menjadi aktivis pergerakan. Jadi ambtenaar (PNS pada saat itu), dalam pandangan mereka, bukanlah jalan atau alat perjuangan. Menjadi pegawai negeri ketika itu sama saja dengan mengabdi pada kepentingan kolonial. Kalau mereka jadi PNS saat itu, kemungkinan besar mereka tidak akan pernah memerdekakan bangsa ini. Sebagian besar waktu mereka tentu akan tersita oleh kesibukan sebagai pekerja kantor dengan segala rutinitas, formalitas dan tetek bengeknya, sehingga mereka tidak sempat lagi untuk membaca buku dan berorganisasi atau mendirikan organisasi-organisasi pergerakan. Dan kemungkinan juga mereka tidak akan pernah jadi orang besar sebagaimana yang kita kenal. Mengapa? Ya, karena kebebasan berpikir dan ruang gerak mereka menjadi sempit dan terbatas. Mereka terikat dalam sistem yang bersifat formalistik-simbolik. Oleh karenanya, Tjipto Mangoenkoesoemo mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai ambtenaar (pegawai negeri) karena ia ingin bebas bergerak, berpikir, dan bersuara.

     Namun anehnya, kebanyakan pemuda di Indonesia saat ini tidak menjadikan mereka-mereka itu sebagai salah satu sumber inspirasi. Kebanyakan pemuda kini tetap punya kemauan yang besar untuk jadi pegawai negeri, walaupun dengan jalan menyogok ratusan juta rupiah. Suatu budaya yang salah. Sumber budaya yang salah itu, kalau kita lihat dari latar belakang historisnya, ya dari sistem budaya feodal di Indonesia pada masa lalu itu. Budaya feodal itulah yang masih diwarisi oleh masyarakat modern Indonesia dewasa ini.

   Di masa kolonial, kasta bangsawan-priyayi dipandang sebagai kasta tertinggi dan terhormat. Walaupun pada hakekatnya adalah kehormatan semu dan irasional. Nah, mental priyayi di masa lalu itu pada kenyataannya masih diwarisi juga oleh sebagian besar PNS saat ini. Kebanyakan orang masih menganggap pekerjaan sebagai PNS adalah pekerjaan yang prestisius dan dianggap seperti “kasta bangsawan-priyayi” di masa lalu. Padahal, kalau kita mau menilainya secara rasional, anggapan seperti itu tidaklah berdasar. Irasional. Semestinya, manusia itu dihormati bukanlah dari status sosialnya, tetapi dari kontribusinya bagi peradaban dan kehidupan manusia.

     Oleh karena itu, dalam rangka refomasi birokrasi saat ini, PNS sudah seharusnya meninggalkan mental priyayi, yang—dalam pandangan Pramoedya—sebagaian besarnya gila hormat dan gila jabatan. Mental PNS yang harus dibangun kedepan adalah mental melayani, bukan mental dilayani. PNS harus menjauhkan perilaku eksklusif. PNS yang baik adalah PNS yang menyadari bahwa ia digaji dari uang rakyat. Oleh karena itu, ia harus melayani rakyat secara tulus ikhlas. Menjadi PNS bukan berarti “menjadi ningrat” atau menjadi “kasta bangsawan-priyayi”. PNS hanyalah abdi negara. Mereka punya kewajiban mengabdi pada kepentingan rakyat—karena ia memang hidup dari uang rakyat. Terlalu mahal rakyat menggaji kalau orientasi mereka hanya ingin enak, foya-foya, dan tidak produktif. Dan terlalu mahal mereka digaji dengan uang rakyat kalau hanya ingin dilayani namun enggan melayani masyarakat. Beban anggaran negara kita sudah terlalu berat menanggung biaya pegawai.

NANI EFENDI
Alumnus LK III HMI


Jelang Pilkades Serentak, Fenomena Aparat Desa Hanya Pajangan

Jelang Pilkades Serentak, Fenomena Aparat Desa Hanya Pajangan

                       Oleh : Bukhari Muallim

Idealnya, sebuah organisasi memiliki beberapa komponen yang mempunyai fungsi yang efektif dan efisien untuk mencapai satu tujuan. Setiap komponen atau bagian-bagian dalam organisasi harus bisa bersinergi untuk mewujudkan sebuah goal yang telah ditetapkan. Kondisi demikian juga berlaku dalam bidang pemerintahan, tidak terkecuali pemerintahan desa. Dalam pemerintahan desa, terdapat beberapa jabatan atau bidang yang dibentuk dengan tujuan agar setiap bidang-bidang itu bisa bekerja secara optimal dalam upaya membantu kepala desa untuk mencapai cita-cita pembangunan, yang salah satunya adalah memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat (public service). Namun, dalam prakteknya saat ini, tidaklah seperti itu. Banyak bidang-bidang—seperti Kasi, Kaur, Kadus, dan termasuk lembaga BPD—ternyata tidak berfungsi secara signifikan. Padahal, semua job-job itu dibiayai dari APBD. 

Selama ini, semua persoalan yang menyangkut urusan pemerintahan desa hanya dibebankan kepada kepala desa sebagai single fighter (pejuang tunggal). Sementara Kasi, Kaur (Kepala Urusan), Kadus (Kepala Dusun), dan anggota BPD tidak berfungsi sama sekali. Nah, tentu keadaan yang seperti ini akan menghambat kinerja kepala desa sebagai salah satu ujung tombak pemerintah pusat dalam mencapai target pembangunan yang telah direncanakan secara makro. Kondisi seperti ini tentu tidak sehat dalam perspektif ilmu administrasi pemerintahan desa. Karena terjadi semacam “kekacauan manajemen” dalam penataan organisasi.

Di sisi lain, tugas Badan Perwakilan Desa (BPD) juga tidak berfungsi secara baik. Semestinya, segala hal yang menyangkut aspirasi masyarakat menjadi tanggung jawab BPD untuk disampaikan kepada kepala desa untuk ditindaklanjuti. Tetapi, faktanya, aspirasi masyarakat juga disampaikan kepada kepala desa secara langsung. Sehingga, terjadi overload tugas di pundak kepala desa. Seharusnya, jika BPD difungsikan secara baik sebagai “DPR kecil” di desa, tumpang tindih tugas dan kewenangan tidak akan terjadi. Dan itu akan membuat pemerintahan menjadi “lincah” dan profesional. 

Secara personal, mungkin honorarium untuk jabatan-jabatan itu terbilang kecil. Namun, jika kita akumulasikan secara keseluruhan, anggaran daerah yang tersedot untuk membiayai bidang-bidang tersebut cukup besar. Semestinya, anggaran itu benar-benar difungsikan untuk memberdayakan perangkat desa itu sendiri agar dapat berfungsi secara baik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa.

Perlu pemberdayaan

Idealnya, bidang-bidang yang selama ini tidak berfungsi secara efektif harus diberdayakan dan difungsikan secara optimal berdasarkan job description yang jelas, rinci, dan terukur. Sudah saat dan seharusnya pengelolaan pemerintahan desa dilakukan sebagaimana seharusnya suatu lembaga pemerintahan.  Dimana secara birokrasi pelayanan dipusatkan di kantor yang rata-rata setiap desa sudah memilikinya.

Dengan demikian roda pemerintahan desa dapat berjalan dengan baik, pendelegasian wewenang menjadi jelas, serta pelayanan menjadi terarah.

Belajar dari Sumatera Barat, pemerintahan Nagari sudah lama dipusatkan di kantor Wali Nagari, aparat desa sangat diberdayakan dalam memberi pelayanan dengan jam kantor yang sama dengan pemerintah daerah. Apalagi saat ini dengan adanya ADD dan DD, pemerintahan desa sudah mendapatkan porsi yang cukup besar dalam pengelolaan keuangan.



Siapa yang bertanggung jawab dalam upaya memberdayakan mereka? Jawabannya, tentu pejabat yang berada di atasnya, seperti pemerintahan daerah dalam hal ini adalah bidang pemerintahan desa, camat, dan kepala desa itu sendiri sebagai seorang pemimpin (leader) di wilayahnya. Kepala desa dituntut kecakapannya untuk me-manage (mengelola) bidang-bidang tugas yang ada di bawahnya. Tanpa, kesadaran itu, jabatan-jabatan yang saya sebutkan di atas tetap akan menjadi pajangan yang tidak dapat berfungsi secara jelas.

Dengan adanya pemberdayaan (empowerment) dan fungsionalisasi yang baik, BPD, Kaur, Kadus, diharapkan dapat bekerja secara baik, optimal, dan profesional. Aparat-aparat pemerintahan desa itu sudah semestinya bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Hal demikian akan berdampak positif terhadap kinerja kepala desa. Karena, kepala desa tidak lagi dibebani dengan tugas-tugas yang bukan menjadi wewenang dan tanggung jawabnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, dengan adanya aparat yang bekerja sesuai dengan fungsinya, tujuan pembangunan dapat dicapai dan berhasil secara efektif dan efisien. 

Selama ini, yang hanya ditekankan hanyalah tujuan yang ingin dicapai. Padahal, tujuan itu hanya bisa dicapai dengan baik apabila aparat pemerintahan desa dapat bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya secara benar. Itulah yang menjadi “PR” kita semua, terlebih pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas dalam membina dan meningkatkan kualitas penyelanggaraan pemerintahan desa. Sehingga upaya kita untuk mendapatkan pelayan publik yang optimal—khususnya bagi masyarakat desa—dapat terwujud sesuai dengan konsep penyelanggaran pemerintahan desa yang baik (good corporate governance).

Ini mungkin, hendaknya menjadi suatu kesadaran bersama, bahwa pentingnya tujuan organisasi dalam hal ini adalah pelayanan untuk didorong dan dilakukan dengan sebaik mungkin untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tanpa kesadaran maka yang indah dan baik hanyalah fantasi yang jauh dari kata harapan. Pepatah Belanda mengatakan Leiden is lijden (Tak ada negara yang miskin yang ada adalah negara yang salah urus). BM



Jelang Pilkades Serentak, Fenomena Aparat Desa Hanya Pajangan

Jelang Pilkades Serentak, Fenomena Aparat Desa Hanya Pajangan

                       Oleh : Bukhari Muallim

Idealnya, sebuah organisasi memiliki beberapa komponen yang mempunyai fungsi yang efektif dan efisien untuk mencapai satu tujuan. Setiap komponen atau bagian-bagian dalam organisasi harus bisa bersinergi untuk mewujudkan sebuah goal yang telah ditetapkan. Kondisi demikian juga berlaku dalam bidang pemerintahan, tidak terkecuali pemerintahan desa. Dalam pemerintahan desa, terdapat beberapa jabatan atau bidang yang dibentuk dengan tujuan agar setiap bidang-bidang itu bisa bekerja secara optimal dalam upaya membantu kepala desa untuk mencapai cita-cita pembangunan, yang salah satunya adalah memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat (public service). Namun, dalam prakteknya saat ini, tidaklah seperti itu. Banyak bidang-bidang—seperti Kasi, Kaur, Kadus, dan termasuk lembaga BPD—ternyata tidak berfungsi secara signifikan. Padahal, semua job-job itu dibiayai dari APBD. 

Selama ini, semua persoalan yang menyangkut urusan pemerintahan desa hanya dibebankan kepada kepala desa sebagai single fighter (pejuang tunggal). Sementara Kasi, Kaur (Kepala Urusan), Kadus (Kepala Dusun), dan anggota BPD tidak berfungsi sama sekali. Nah, tentu keadaan yang seperti ini akan menghambat kinerja kepala desa sebagai salah satu ujung tombak pemerintah pusat dalam mencapai target pembangunan yang telah direncanakan secara makro. Kondisi seperti ini tentu tidak sehat dalam perspektif ilmu administrasi pemerintahan desa. Karena terjadi semacam “kekacauan manajemen” dalam penataan organisasi.

Di sisi lain, tugas Badan Perwakilan Desa (BPD) juga tidak berfungsi secara baik. Semestinya, segala hal yang menyangkut aspirasi masyarakat menjadi tanggung jawab BPD untuk disampaikan kepada kepala desa untuk ditindaklanjuti. Tetapi, faktanya, aspirasi masyarakat juga disampaikan kepada kepala desa secara langsung. Sehingga, terjadi overload tugas di pundak kepala desa. Seharusnya, jika BPD difungsikan secara baik sebagai “DPR kecil” di desa, tumpang tindih tugas dan kewenangan tidak akan terjadi. Dan itu akan membuat pemerintahan menjadi “lincah” dan profesional. 

Secara personal, mungkin honorarium untuk jabatan-jabatan itu terbilang kecil. Namun, jika kita akumulasikan secara keseluruhan, anggaran daerah yang tersedot untuk membiayai bidang-bidang tersebut cukup besar. Semestinya, anggaran itu benar-benar difungsikan untuk memberdayakan perangkat desa itu sendiri agar dapat berfungsi secara baik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa.

Perlu pemberdayaan

Idealnya, bidang-bidang yang selama ini tidak berfungsi secara efektif harus diberdayakan dan difungsikan secara optimal berdasarkan job description yang jelas, rinci, dan terukur. Sudah saat dan seharusnya pengelolaan pemerintahan desa dilakukan sebagaimana seharusnya suatu lembaga pemerintahan.  Dimana secara birokrasi pelayanan dipusatkan di kantor yang rata-rata setiap desa sudah memilikinya.

Dengan demikian roda pemerintahan desa dapat berjalan dengan baik, pendelegasian wewenang menjadi jelas, serta pelayanan menjadi terarah.

Belajar dari Sumatera Barat, pemerintahan Nagari sudah lama dipusatkan di kantor Wali Nagari, aparat desa sangat diberdayakan dalam memberi pelayanan dengan jam kantor yang sama dengan pemerintah daerah. Apalagi saat ini dengan adanya ADD dan DD, pemerintahan desa sudah mendapatkan porsi yang cukup besar dalam pengelolaan keuangan.



Siapa yang bertanggung jawab dalam upaya memberdayakan mereka? Jawabannya, tentu pejabat yang berada di atasnya, seperti pemerintahan daerah dalam hal ini adalah bidang pemerintahan desa, camat, dan kepala desa itu sendiri sebagai seorang pemimpin (leader) di wilayahnya. Kepala desa dituntut kecakapannya untuk me-manage (mengelola) bidang-bidang tugas yang ada di bawahnya. Tanpa, kesadaran itu, jabatan-jabatan yang saya sebutkan di atas tetap akan menjadi pajangan yang tidak dapat berfungsi secara jelas.

Dengan adanya pemberdayaan (empowerment) dan fungsionalisasi yang baik, BPD, Kaur, Kadus, diharapkan dapat bekerja secara baik, optimal, dan profesional. Aparat-aparat pemerintahan desa itu sudah semestinya bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Hal demikian akan berdampak positif terhadap kinerja kepala desa. Karena, kepala desa tidak lagi dibebani dengan tugas-tugas yang bukan menjadi wewenang dan tanggung jawabnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, dengan adanya aparat yang bekerja sesuai dengan fungsinya, tujuan pembangunan dapat dicapai dan berhasil secara efektif dan efisien. 

Selama ini, yang hanya ditekankan hanyalah tujuan yang ingin dicapai. Padahal, tujuan itu hanya bisa dicapai dengan baik apabila aparat pemerintahan desa dapat bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya secara benar. Itulah yang menjadi “PR” kita semua, terlebih pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas dalam membina dan meningkatkan kualitas penyelanggaraan pemerintahan desa. Sehingga upaya kita untuk mendapatkan pelayan publik yang optimal—khususnya bagi masyarakat desa—dapat terwujud sesuai dengan konsep penyelanggaran pemerintahan desa yang baik (good corporate governance).

Ini mungkin, hendaknya menjadi suatu kesadaran bersama, bahwa pentingnya tujuan organisasi dalam hal ini adalah pelayanan untuk didorong dan dilakukan dengan sebaik mungkin untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tanpa kesadaran maka yang indah dan baik hanyalah fantasi yang jauh dari kata harapan. Pepatah Belanda mengatakan Leiden is lijden (Tak ada negara yang miskin yang ada adalah negara yang salah urus). BM



Our Blog

55 Cups
Average weekly coffee drank
9000 Lines
Average weekly lines of code
400 Customers
Average yearly happy clients

Our Team

Tim Malkovic
CEO
David Bell
Creative Designer
Eve Stinger
Sales Manager
Will Peters
Developer

Contact

Talk to us

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Dolores iusto fugit esse soluta quae debitis quibusdam harum voluptatem, maxime, aliquam sequi. Tempora ipsum magni unde velit corporis fuga, necessitatibus blanditiis.

Address:

9983 City name, Street name, 232 Apartment C

Work Time:

Monday - Friday from 9am to 5pm

Phone:

595 12 34 567

JSON Variables

Random Posts

{getFeatured} $results={5} $label={recent}