We Are Creative Design Agency

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Illum, fuga, consectetur sequi consequuntur nisi placeat ullam maiores perferendis. Quod, nihil reiciendis saepe optio libero minus et beatae ipsam reprehenderit sequi.

Find Out More Purchase Theme

Our Services

Lovely Design

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Great Concept

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Development

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

User Friendly

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Recent Work

PNS Harus Tinggalkan Mental Priyayi

PNS Harus Tinggalkan Mental Priyayi

Oleh: NANI EFENDI

Mengapadi Indonesia para pemudanya berebutan untuk jadi PNS? Mengapa setiap ada penerimaan PNS peserta tesnya selalu membludak seperti orang demo mau menurunkan presiden dari jabatannya? Bahkan, mereka rela berdesak-desakan, terinjak-injak, dan pergi ke daerah yang jauh-jauh hanya untuk mendapatkan nomor peserta tes dan ikut tes CPNS. Kalau ditanya, khususnya anak-anak muda, jawabannya relatif sama: jadi PNS itu enak, nyaman, aman masa depan, bisa memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat, mendapat gaji yang lumayan besar yang setiap tahun naik, dan lain-lain jawaban yang serupa. Jarang sekali saya mendengar jawaban, “Ingin mengabdi pada negara dan melayani masyarakat”.
 
    Semangat mereka kebanyakannya sama: ingin enak dan tak ingin susah, ingin dihormati, ingin dilayani dan bukan melayani, ingin menguasai, ingin mengatur, dan ingin memerintah. Persis seperti mental kebanyakan para ambtenaar zaman penjajahan Belanda di masa lalu. Dulu, zaman pemerintahan Hindia Belanda, PNS atau pegawai negeri dinamakan “ambtenaar”. Dalam struktur sosial masyarakat zaman kolonial Belanda di masa lalu, para ambtenaar digolongkan sebagai kaum priyayi, yaitu kaum yang tergolong ke dalam kelas atas masyarakat yang masih feodal. Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis besar Indonesia yang pernah jadi kandidat pemenang Nobel, dalam bukunya Sang Pemula, menjelaskan karakter dan mental kaum ini, yaitu: konsumtif, tidak produktif, dan tidak kreatif. Watak dan impian kasta ini adalah hal-hal yang bersifat simbol seperti pangkat dan kehormatan, bintang, payung, selempang, pita, dan gelar. Gelar tertinggi yang mereka impikan adalah: Pangeran, Arya, Adipati, dan Tumenggung. Sedangkan pangkat yang mereka gairahi adalah bupati—pangkat tertinggi di luar daerah kerajaan yang dapat dicapai oleh Pribumi pada zaman penjajahan Belanda (lihat Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1985: 14).

     Tidak ada kebebasan berpikir dalam kasta ini. Mereka terkekang oleh budaya yang penuh dengan kehormatan yang irasional dan semu. Oleh karenanya, pemuda dan pemudi yang berasal dari keluarga ningrat atau priyayi atau keluarga kelas bangsawan, namun mereka terpelajar dan berpikiran maju, mereka pada umumnya memilih keluar dari “kekangan” sistem keluarganya. Beberapa contoh, misalnya, HOS Tjokroaminoto, R.A. Kartini (tokoh emansipasi wanita Indonesia), Bung Karno, Tjipto Mangoenkoesoemo, Dewi Sartika, Tirto Adhi Soerjo (Bapak Pers Indonesia), dan lain-lain. Bahkan, Tirto Adhi Soerjo mengatakan, menjadi pegawai negeri kolonial menghilangkan kemerdekaan diri dan kebebasab berpikir. Mereka ini adalah beberapa contoh dari anggota keluarga ningrat atau priyayi yang tidak memiliki mental priyayi. Mereka-mereka ini tidak tertarik untuk menjadi ambtenaar atau pegawai negeri. Mereka memilih bebas. Mereka tidak bersikap seperti kaum priyayi. Kebanyakan mereka bersahaja, bebas berpikir, bebas berkumpul, dan bebas berserikat, karena dengan begitu mereka bisa berbuat sesuatu yang benar-benar nyata untuk kepentingan rakyat.

     Bung Karno, Bung Hatta, dan aktivis-aktivis pejuang bangsa zaman dahulu pernah ditawari untuk bekerja sebagai ambtenaar (pegawai negeri), tapi mereka tolak mentah-mentah. Mereka sedikit pun tidak tertarik jadi ambtenaar. Mereka lebih memilih menjadi aktivis pergerakan. Jadi ambtenaar (PNS pada saat itu), dalam pandangan mereka, bukanlah jalan atau alat perjuangan. Menjadi pegawai negeri ketika itu sama saja dengan mengabdi pada kepentingan kolonial. Kalau mereka jadi PNS saat itu, kemungkinan besar mereka tidak akan pernah memerdekakan bangsa ini. Sebagian besar waktu mereka tentu akan tersita oleh kesibukan sebagai pekerja kantor dengan segala rutinitas, formalitas dan tetek bengeknya, sehingga mereka tidak sempat lagi untuk membaca buku dan berorganisasi atau mendirikan organisasi-organisasi pergerakan. Dan kemungkinan juga mereka tidak akan pernah jadi orang besar sebagaimana yang kita kenal. Mengapa? Ya, karena kebebasan berpikir dan ruang gerak mereka menjadi sempit dan terbatas. Mereka terikat dalam sistem yang bersifat formalistik-simbolik. Oleh karenanya, Tjipto Mangoenkoesoemo mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai ambtenaar (pegawai negeri) karena ia ingin bebas bergerak, berpikir, dan bersuara.

     Namun anehnya, kebanyakan pemuda di Indonesia saat ini tidak menjadikan mereka-mereka itu sebagai salah satu sumber inspirasi. Kebanyakan pemuda kini tetap punya kemauan yang besar untuk jadi pegawai negeri, walaupun dengan jalan menyogok ratusan juta rupiah. Suatu budaya yang salah. Sumber budaya yang salah itu, kalau kita lihat dari latar belakang historisnya, ya dari sistem budaya feodal di Indonesia pada masa lalu itu. Budaya feodal itulah yang masih diwarisi oleh masyarakat modern Indonesia dewasa ini.

   Di masa kolonial, kasta bangsawan-priyayi dipandang sebagai kasta tertinggi dan terhormat. Walaupun pada hakekatnya adalah kehormatan semu dan irasional. Nah, mental priyayi di masa lalu itu pada kenyataannya masih diwarisi juga oleh sebagian besar PNS saat ini. Kebanyakan orang masih menganggap pekerjaan sebagai PNS adalah pekerjaan yang prestisius dan dianggap seperti “kasta bangsawan-priyayi” di masa lalu. Padahal, kalau kita mau menilainya secara rasional, anggapan seperti itu tidaklah berdasar. Irasional. Semestinya, manusia itu dihormati bukanlah dari status sosialnya, tetapi dari kontribusinya bagi peradaban dan kehidupan manusia.

     Oleh karena itu, dalam rangka refomasi birokrasi saat ini, PNS sudah seharusnya meninggalkan mental priyayi, yang—dalam pandangan Pramoedya—sebagaian besarnya gila hormat dan gila jabatan. Mental PNS yang harus dibangun kedepan adalah mental melayani, bukan mental dilayani. PNS harus menjauhkan perilaku eksklusif. PNS yang baik adalah PNS yang menyadari bahwa ia digaji dari uang rakyat. Oleh karena itu, ia harus melayani rakyat secara tulus ikhlas. Menjadi PNS bukan berarti “menjadi ningrat” atau menjadi “kasta bangsawan-priyayi”. PNS hanyalah abdi negara. Mereka punya kewajiban mengabdi pada kepentingan rakyat—karena ia memang hidup dari uang rakyat. Terlalu mahal rakyat menggaji kalau orientasi mereka hanya ingin enak, foya-foya, dan tidak produktif. Dan terlalu mahal mereka digaji dengan uang rakyat kalau hanya ingin dilayani namun enggan melayani masyarakat. Beban anggaran negara kita sudah terlalu berat menanggung biaya pegawai.

NANI EFENDI
Alumnus LK III HMI


PNS Harus Tinggalkan Mental Priyayi

PNS Harus Tinggalkan Mental Priyayi

Oleh: NANI EFENDI

Mengapadi Indonesia para pemudanya berebutan untuk jadi PNS? Mengapa setiap ada penerimaan PNS peserta tesnya selalu membludak seperti orang demo mau menurunkan presiden dari jabatannya? Bahkan, mereka rela berdesak-desakan, terinjak-injak, dan pergi ke daerah yang jauh-jauh hanya untuk mendapatkan nomor peserta tes dan ikut tes CPNS. Kalau ditanya, khususnya anak-anak muda, jawabannya relatif sama: jadi PNS itu enak, nyaman, aman masa depan, bisa memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat, mendapat gaji yang lumayan besar yang setiap tahun naik, dan lain-lain jawaban yang serupa. Jarang sekali saya mendengar jawaban, “Ingin mengabdi pada negara dan melayani masyarakat”.
 
    Semangat mereka kebanyakannya sama: ingin enak dan tak ingin susah, ingin dihormati, ingin dilayani dan bukan melayani, ingin menguasai, ingin mengatur, dan ingin memerintah. Persis seperti mental kebanyakan para ambtenaar zaman penjajahan Belanda di masa lalu. Dulu, zaman pemerintahan Hindia Belanda, PNS atau pegawai negeri dinamakan “ambtenaar”. Dalam struktur sosial masyarakat zaman kolonial Belanda di masa lalu, para ambtenaar digolongkan sebagai kaum priyayi, yaitu kaum yang tergolong ke dalam kelas atas masyarakat yang masih feodal. Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis besar Indonesia yang pernah jadi kandidat pemenang Nobel, dalam bukunya Sang Pemula, menjelaskan karakter dan mental kaum ini, yaitu: konsumtif, tidak produktif, dan tidak kreatif. Watak dan impian kasta ini adalah hal-hal yang bersifat simbol seperti pangkat dan kehormatan, bintang, payung, selempang, pita, dan gelar. Gelar tertinggi yang mereka impikan adalah: Pangeran, Arya, Adipati, dan Tumenggung. Sedangkan pangkat yang mereka gairahi adalah bupati—pangkat tertinggi di luar daerah kerajaan yang dapat dicapai oleh Pribumi pada zaman penjajahan Belanda (lihat Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1985: 14).

     Tidak ada kebebasan berpikir dalam kasta ini. Mereka terkekang oleh budaya yang penuh dengan kehormatan yang irasional dan semu. Oleh karenanya, pemuda dan pemudi yang berasal dari keluarga ningrat atau priyayi atau keluarga kelas bangsawan, namun mereka terpelajar dan berpikiran maju, mereka pada umumnya memilih keluar dari “kekangan” sistem keluarganya. Beberapa contoh, misalnya, HOS Tjokroaminoto, R.A. Kartini (tokoh emansipasi wanita Indonesia), Bung Karno, Tjipto Mangoenkoesoemo, Dewi Sartika, Tirto Adhi Soerjo (Bapak Pers Indonesia), dan lain-lain. Bahkan, Tirto Adhi Soerjo mengatakan, menjadi pegawai negeri kolonial menghilangkan kemerdekaan diri dan kebebasab berpikir. Mereka ini adalah beberapa contoh dari anggota keluarga ningrat atau priyayi yang tidak memiliki mental priyayi. Mereka-mereka ini tidak tertarik untuk menjadi ambtenaar atau pegawai negeri. Mereka memilih bebas. Mereka tidak bersikap seperti kaum priyayi. Kebanyakan mereka bersahaja, bebas berpikir, bebas berkumpul, dan bebas berserikat, karena dengan begitu mereka bisa berbuat sesuatu yang benar-benar nyata untuk kepentingan rakyat.

     Bung Karno, Bung Hatta, dan aktivis-aktivis pejuang bangsa zaman dahulu pernah ditawari untuk bekerja sebagai ambtenaar (pegawai negeri), tapi mereka tolak mentah-mentah. Mereka sedikit pun tidak tertarik jadi ambtenaar. Mereka lebih memilih menjadi aktivis pergerakan. Jadi ambtenaar (PNS pada saat itu), dalam pandangan mereka, bukanlah jalan atau alat perjuangan. Menjadi pegawai negeri ketika itu sama saja dengan mengabdi pada kepentingan kolonial. Kalau mereka jadi PNS saat itu, kemungkinan besar mereka tidak akan pernah memerdekakan bangsa ini. Sebagian besar waktu mereka tentu akan tersita oleh kesibukan sebagai pekerja kantor dengan segala rutinitas, formalitas dan tetek bengeknya, sehingga mereka tidak sempat lagi untuk membaca buku dan berorganisasi atau mendirikan organisasi-organisasi pergerakan. Dan kemungkinan juga mereka tidak akan pernah jadi orang besar sebagaimana yang kita kenal. Mengapa? Ya, karena kebebasan berpikir dan ruang gerak mereka menjadi sempit dan terbatas. Mereka terikat dalam sistem yang bersifat formalistik-simbolik. Oleh karenanya, Tjipto Mangoenkoesoemo mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai ambtenaar (pegawai negeri) karena ia ingin bebas bergerak, berpikir, dan bersuara.

     Namun anehnya, kebanyakan pemuda di Indonesia saat ini tidak menjadikan mereka-mereka itu sebagai salah satu sumber inspirasi. Kebanyakan pemuda kini tetap punya kemauan yang besar untuk jadi pegawai negeri, walaupun dengan jalan menyogok ratusan juta rupiah. Suatu budaya yang salah. Sumber budaya yang salah itu, kalau kita lihat dari latar belakang historisnya, ya dari sistem budaya feodal di Indonesia pada masa lalu itu. Budaya feodal itulah yang masih diwarisi oleh masyarakat modern Indonesia dewasa ini.

   Di masa kolonial, kasta bangsawan-priyayi dipandang sebagai kasta tertinggi dan terhormat. Walaupun pada hakekatnya adalah kehormatan semu dan irasional. Nah, mental priyayi di masa lalu itu pada kenyataannya masih diwarisi juga oleh sebagian besar PNS saat ini. Kebanyakan orang masih menganggap pekerjaan sebagai PNS adalah pekerjaan yang prestisius dan dianggap seperti “kasta bangsawan-priyayi” di masa lalu. Padahal, kalau kita mau menilainya secara rasional, anggapan seperti itu tidaklah berdasar. Irasional. Semestinya, manusia itu dihormati bukanlah dari status sosialnya, tetapi dari kontribusinya bagi peradaban dan kehidupan manusia.

     Oleh karena itu, dalam rangka refomasi birokrasi saat ini, PNS sudah seharusnya meninggalkan mental priyayi, yang—dalam pandangan Pramoedya—sebagaian besarnya gila hormat dan gila jabatan. Mental PNS yang harus dibangun kedepan adalah mental melayani, bukan mental dilayani. PNS harus menjauhkan perilaku eksklusif. PNS yang baik adalah PNS yang menyadari bahwa ia digaji dari uang rakyat. Oleh karena itu, ia harus melayani rakyat secara tulus ikhlas. Menjadi PNS bukan berarti “menjadi ningrat” atau menjadi “kasta bangsawan-priyayi”. PNS hanyalah abdi negara. Mereka punya kewajiban mengabdi pada kepentingan rakyat—karena ia memang hidup dari uang rakyat. Terlalu mahal rakyat menggaji kalau orientasi mereka hanya ingin enak, foya-foya, dan tidak produktif. Dan terlalu mahal mereka digaji dengan uang rakyat kalau hanya ingin dilayani namun enggan melayani masyarakat. Beban anggaran negara kita sudah terlalu berat menanggung biaya pegawai.

NANI EFENDI
Alumnus LK III HMI


Jelang Pilkades Serentak, Fenomena Aparat Desa Hanya Pajangan

Jelang Pilkades Serentak, Fenomena Aparat Desa Hanya Pajangan

                       Oleh : Bukhari Muallim

Idealnya, sebuah organisasi memiliki beberapa komponen yang mempunyai fungsi yang efektif dan efisien untuk mencapai satu tujuan. Setiap komponen atau bagian-bagian dalam organisasi harus bisa bersinergi untuk mewujudkan sebuah goal yang telah ditetapkan. Kondisi demikian juga berlaku dalam bidang pemerintahan, tidak terkecuali pemerintahan desa. Dalam pemerintahan desa, terdapat beberapa jabatan atau bidang yang dibentuk dengan tujuan agar setiap bidang-bidang itu bisa bekerja secara optimal dalam upaya membantu kepala desa untuk mencapai cita-cita pembangunan, yang salah satunya adalah memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat (public service). Namun, dalam prakteknya saat ini, tidaklah seperti itu. Banyak bidang-bidang—seperti Kasi, Kaur, Kadus, dan termasuk lembaga BPD—ternyata tidak berfungsi secara signifikan. Padahal, semua job-job itu dibiayai dari APBD. 

Selama ini, semua persoalan yang menyangkut urusan pemerintahan desa hanya dibebankan kepada kepala desa sebagai single fighter (pejuang tunggal). Sementara Kasi, Kaur (Kepala Urusan), Kadus (Kepala Dusun), dan anggota BPD tidak berfungsi sama sekali. Nah, tentu keadaan yang seperti ini akan menghambat kinerja kepala desa sebagai salah satu ujung tombak pemerintah pusat dalam mencapai target pembangunan yang telah direncanakan secara makro. Kondisi seperti ini tentu tidak sehat dalam perspektif ilmu administrasi pemerintahan desa. Karena terjadi semacam “kekacauan manajemen” dalam penataan organisasi.

Di sisi lain, tugas Badan Perwakilan Desa (BPD) juga tidak berfungsi secara baik. Semestinya, segala hal yang menyangkut aspirasi masyarakat menjadi tanggung jawab BPD untuk disampaikan kepada kepala desa untuk ditindaklanjuti. Tetapi, faktanya, aspirasi masyarakat juga disampaikan kepada kepala desa secara langsung. Sehingga, terjadi overload tugas di pundak kepala desa. Seharusnya, jika BPD difungsikan secara baik sebagai “DPR kecil” di desa, tumpang tindih tugas dan kewenangan tidak akan terjadi. Dan itu akan membuat pemerintahan menjadi “lincah” dan profesional. 

Secara personal, mungkin honorarium untuk jabatan-jabatan itu terbilang kecil. Namun, jika kita akumulasikan secara keseluruhan, anggaran daerah yang tersedot untuk membiayai bidang-bidang tersebut cukup besar. Semestinya, anggaran itu benar-benar difungsikan untuk memberdayakan perangkat desa itu sendiri agar dapat berfungsi secara baik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa.

Perlu pemberdayaan

Idealnya, bidang-bidang yang selama ini tidak berfungsi secara efektif harus diberdayakan dan difungsikan secara optimal berdasarkan job description yang jelas, rinci, dan terukur. Sudah saat dan seharusnya pengelolaan pemerintahan desa dilakukan sebagaimana seharusnya suatu lembaga pemerintahan.  Dimana secara birokrasi pelayanan dipusatkan di kantor yang rata-rata setiap desa sudah memilikinya.

Dengan demikian roda pemerintahan desa dapat berjalan dengan baik, pendelegasian wewenang menjadi jelas, serta pelayanan menjadi terarah.

Belajar dari Sumatera Barat, pemerintahan Nagari sudah lama dipusatkan di kantor Wali Nagari, aparat desa sangat diberdayakan dalam memberi pelayanan dengan jam kantor yang sama dengan pemerintah daerah. Apalagi saat ini dengan adanya ADD dan DD, pemerintahan desa sudah mendapatkan porsi yang cukup besar dalam pengelolaan keuangan.



Siapa yang bertanggung jawab dalam upaya memberdayakan mereka? Jawabannya, tentu pejabat yang berada di atasnya, seperti pemerintahan daerah dalam hal ini adalah bidang pemerintahan desa, camat, dan kepala desa itu sendiri sebagai seorang pemimpin (leader) di wilayahnya. Kepala desa dituntut kecakapannya untuk me-manage (mengelola) bidang-bidang tugas yang ada di bawahnya. Tanpa, kesadaran itu, jabatan-jabatan yang saya sebutkan di atas tetap akan menjadi pajangan yang tidak dapat berfungsi secara jelas.

Dengan adanya pemberdayaan (empowerment) dan fungsionalisasi yang baik, BPD, Kaur, Kadus, diharapkan dapat bekerja secara baik, optimal, dan profesional. Aparat-aparat pemerintahan desa itu sudah semestinya bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Hal demikian akan berdampak positif terhadap kinerja kepala desa. Karena, kepala desa tidak lagi dibebani dengan tugas-tugas yang bukan menjadi wewenang dan tanggung jawabnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, dengan adanya aparat yang bekerja sesuai dengan fungsinya, tujuan pembangunan dapat dicapai dan berhasil secara efektif dan efisien. 

Selama ini, yang hanya ditekankan hanyalah tujuan yang ingin dicapai. Padahal, tujuan itu hanya bisa dicapai dengan baik apabila aparat pemerintahan desa dapat bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya secara benar. Itulah yang menjadi “PR” kita semua, terlebih pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas dalam membina dan meningkatkan kualitas penyelanggaraan pemerintahan desa. Sehingga upaya kita untuk mendapatkan pelayan publik yang optimal—khususnya bagi masyarakat desa—dapat terwujud sesuai dengan konsep penyelanggaran pemerintahan desa yang baik (good corporate governance).

Ini mungkin, hendaknya menjadi suatu kesadaran bersama, bahwa pentingnya tujuan organisasi dalam hal ini adalah pelayanan untuk didorong dan dilakukan dengan sebaik mungkin untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tanpa kesadaran maka yang indah dan baik hanyalah fantasi yang jauh dari kata harapan. Pepatah Belanda mengatakan Leiden is lijden (Tak ada negara yang miskin yang ada adalah negara yang salah urus). BM



Jelang Pilkades Serentak, Fenomena Aparat Desa Hanya Pajangan

Jelang Pilkades Serentak, Fenomena Aparat Desa Hanya Pajangan

                       Oleh : Bukhari Muallim

Idealnya, sebuah organisasi memiliki beberapa komponen yang mempunyai fungsi yang efektif dan efisien untuk mencapai satu tujuan. Setiap komponen atau bagian-bagian dalam organisasi harus bisa bersinergi untuk mewujudkan sebuah goal yang telah ditetapkan. Kondisi demikian juga berlaku dalam bidang pemerintahan, tidak terkecuali pemerintahan desa. Dalam pemerintahan desa, terdapat beberapa jabatan atau bidang yang dibentuk dengan tujuan agar setiap bidang-bidang itu bisa bekerja secara optimal dalam upaya membantu kepala desa untuk mencapai cita-cita pembangunan, yang salah satunya adalah memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat (public service). Namun, dalam prakteknya saat ini, tidaklah seperti itu. Banyak bidang-bidang—seperti Kasi, Kaur, Kadus, dan termasuk lembaga BPD—ternyata tidak berfungsi secara signifikan. Padahal, semua job-job itu dibiayai dari APBD. 

Selama ini, semua persoalan yang menyangkut urusan pemerintahan desa hanya dibebankan kepada kepala desa sebagai single fighter (pejuang tunggal). Sementara Kasi, Kaur (Kepala Urusan), Kadus (Kepala Dusun), dan anggota BPD tidak berfungsi sama sekali. Nah, tentu keadaan yang seperti ini akan menghambat kinerja kepala desa sebagai salah satu ujung tombak pemerintah pusat dalam mencapai target pembangunan yang telah direncanakan secara makro. Kondisi seperti ini tentu tidak sehat dalam perspektif ilmu administrasi pemerintahan desa. Karena terjadi semacam “kekacauan manajemen” dalam penataan organisasi.

Di sisi lain, tugas Badan Perwakilan Desa (BPD) juga tidak berfungsi secara baik. Semestinya, segala hal yang menyangkut aspirasi masyarakat menjadi tanggung jawab BPD untuk disampaikan kepada kepala desa untuk ditindaklanjuti. Tetapi, faktanya, aspirasi masyarakat juga disampaikan kepada kepala desa secara langsung. Sehingga, terjadi overload tugas di pundak kepala desa. Seharusnya, jika BPD difungsikan secara baik sebagai “DPR kecil” di desa, tumpang tindih tugas dan kewenangan tidak akan terjadi. Dan itu akan membuat pemerintahan menjadi “lincah” dan profesional. 

Secara personal, mungkin honorarium untuk jabatan-jabatan itu terbilang kecil. Namun, jika kita akumulasikan secara keseluruhan, anggaran daerah yang tersedot untuk membiayai bidang-bidang tersebut cukup besar. Semestinya, anggaran itu benar-benar difungsikan untuk memberdayakan perangkat desa itu sendiri agar dapat berfungsi secara baik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa.

Perlu pemberdayaan

Idealnya, bidang-bidang yang selama ini tidak berfungsi secara efektif harus diberdayakan dan difungsikan secara optimal berdasarkan job description yang jelas, rinci, dan terukur. Sudah saat dan seharusnya pengelolaan pemerintahan desa dilakukan sebagaimana seharusnya suatu lembaga pemerintahan.  Dimana secara birokrasi pelayanan dipusatkan di kantor yang rata-rata setiap desa sudah memilikinya.

Dengan demikian roda pemerintahan desa dapat berjalan dengan baik, pendelegasian wewenang menjadi jelas, serta pelayanan menjadi terarah.

Belajar dari Sumatera Barat, pemerintahan Nagari sudah lama dipusatkan di kantor Wali Nagari, aparat desa sangat diberdayakan dalam memberi pelayanan dengan jam kantor yang sama dengan pemerintah daerah. Apalagi saat ini dengan adanya ADD dan DD, pemerintahan desa sudah mendapatkan porsi yang cukup besar dalam pengelolaan keuangan.



Siapa yang bertanggung jawab dalam upaya memberdayakan mereka? Jawabannya, tentu pejabat yang berada di atasnya, seperti pemerintahan daerah dalam hal ini adalah bidang pemerintahan desa, camat, dan kepala desa itu sendiri sebagai seorang pemimpin (leader) di wilayahnya. Kepala desa dituntut kecakapannya untuk me-manage (mengelola) bidang-bidang tugas yang ada di bawahnya. Tanpa, kesadaran itu, jabatan-jabatan yang saya sebutkan di atas tetap akan menjadi pajangan yang tidak dapat berfungsi secara jelas.

Dengan adanya pemberdayaan (empowerment) dan fungsionalisasi yang baik, BPD, Kaur, Kadus, diharapkan dapat bekerja secara baik, optimal, dan profesional. Aparat-aparat pemerintahan desa itu sudah semestinya bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Hal demikian akan berdampak positif terhadap kinerja kepala desa. Karena, kepala desa tidak lagi dibebani dengan tugas-tugas yang bukan menjadi wewenang dan tanggung jawabnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, dengan adanya aparat yang bekerja sesuai dengan fungsinya, tujuan pembangunan dapat dicapai dan berhasil secara efektif dan efisien. 

Selama ini, yang hanya ditekankan hanyalah tujuan yang ingin dicapai. Padahal, tujuan itu hanya bisa dicapai dengan baik apabila aparat pemerintahan desa dapat bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya secara benar. Itulah yang menjadi “PR” kita semua, terlebih pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas dalam membina dan meningkatkan kualitas penyelanggaraan pemerintahan desa. Sehingga upaya kita untuk mendapatkan pelayan publik yang optimal—khususnya bagi masyarakat desa—dapat terwujud sesuai dengan konsep penyelanggaran pemerintahan desa yang baik (good corporate governance).

Ini mungkin, hendaknya menjadi suatu kesadaran bersama, bahwa pentingnya tujuan organisasi dalam hal ini adalah pelayanan untuk didorong dan dilakukan dengan sebaik mungkin untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tanpa kesadaran maka yang indah dan baik hanyalah fantasi yang jauh dari kata harapan. Pepatah Belanda mengatakan Leiden is lijden (Tak ada negara yang miskin yang ada adalah negara yang salah urus). BM



Berbaur Dengan Masyarakat, Mahasiswa Kukerta STIA-NUSA Posko 2 Lunang Disambut Hangat

Berbaur Dengan Masyarakat, Mahasiswa Kukerta STIA-NUSA Posko 2 Lunang Disambut Hangat

KERINCINEWS.COM, KERINCI - Pada tahun 2019 ini, STIA-NUSA menempatkan kan Mahasiswa Kukerta di beberapa lokasi STIA-NUSA diluar provinsi Jambi yaitu 3 lokasi berada di Kecamatan Lunang Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumbar. Adapun 3 lokasi terbut adalah Desa Lunang Utara, Desa Pondok Parian dan Lunang Tengah.

Diantara 3 lokasi tersebut, mahasiswa Kukerta posko 2 Desa Pondok Parian selalu berbaur dengan masyarakat. Salah satu program pengabdian yang disambut antusias oleh masyarakat adalah keterlibatan mahasiswa dalam bidang agama yaitu mengajar mengaji untuk anak-anak.

Disamping itu mahasiswa Kukerta posko 2 Desa Pondok Parian Lunang dalam waktu dekat merencanakan kegiatan turnamen Volly Ball. Disamping melaksanakan program pengabdian yang berhubungan dengan administrasi pemerintahan.

Dosen pembimbing lapangan posko 2 Desa Pondok Parian Lunang bapak Bukhari Muallim, S.Sos, S.Pd, M.Si ketika dihubungi via ponsel mengatakan bahwa mahasiswa bimbingannya saat ini sudah menyiapkan program-program unggulan yang bermanfaat langsung bagi masyarakat. Salah satunya adalah kegiatan membantu masyarakat merintis usaha kecil yang bekerja sama dengan pemdes.

Kemudian penyuluhan-penyuluhan dibidang ekonomi dan kesehatan juga sedang digalakkan.

Bukhari muallim juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Camat dan Wali Nagari beserta seluruh lapisan masyarakat Pondok Parian Lunang yang dengan senang hati telah menerima mahasiswa Kukerta STIA-NUSA Tahun 2019. (noha)




Berbaur Dengan Masyarakat, Mahasiswa Kukerta STIA-NUSA Posko 2 Lunang Disambut Hangat

Berbaur Dengan Masyarakat, Mahasiswa Kukerta STIA-NUSA Posko 2 Lunang Disambut Hangat

KERINCINEWS.COM, KERINCI - Pada tahun 2019 ini, STIA-NUSA menempatkan kan Mahasiswa Kukerta di beberapa lokasi STIA-NUSA diluar provinsi Jambi yaitu 3 lokasi berada di Kecamatan Lunang Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumbar. Adapun 3 lokasi terbut adalah Desa Lunang Utara, Desa Pondok Parian dan Lunang Tengah.

Diantara 3 lokasi tersebut, mahasiswa Kukerta posko 2 Desa Pondok Parian selalu berbaur dengan masyarakat. Salah satu program pengabdian yang disambut antusias oleh masyarakat adalah keterlibatan mahasiswa dalam bidang agama yaitu mengajar mengaji untuk anak-anak.

Disamping itu mahasiswa Kukerta posko 2 Desa Pondok Parian Lunang dalam waktu dekat merencanakan kegiatan turnamen Volly Ball. Disamping melaksanakan program pengabdian yang berhubungan dengan administrasi pemerintahan.

Dosen pembimbing lapangan posko 2 Desa Pondok Parian Lunang bapak Bukhari Muallim, S.Sos, S.Pd, M.Si ketika dihubungi via ponsel mengatakan bahwa mahasiswa bimbingannya saat ini sudah menyiapkan program-program unggulan yang bermanfaat langsung bagi masyarakat. Salah satunya adalah kegiatan membantu masyarakat merintis usaha kecil yang bekerja sama dengan pemdes.

Kemudian penyuluhan-penyuluhan dibidang ekonomi dan kesehatan juga sedang digalakkan.

Bukhari muallim juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Camat dan Wali Nagari beserta seluruh lapisan masyarakat Pondok Parian Lunang yang dengan senang hati telah menerima mahasiswa Kukerta STIA-NUSA Tahun 2019. (noha)




Kekacauan Paradigma Demokrasi

Kekacauan Paradigma Demokrasi


Oleh: Ekten Deaf Pariske 
(Sekjend DEMA IAIN Kerinci Periode 2018-2019) 

KERINCINEWS.COM, KERINCI - Istilah demokrasi pada dua dasawarsa terakhir, khususnya di berbagai negara berkembang kian populer, baik pada tingkat wacana maupun arus gerakan sosial politik. Sebagai suatu sistem politik, demokrasi telah menempati tingkatan teratas yang diterima oleh banyaknegara karena dianggap mampu mengatur dan menyelesaikan hubungan sosial dan politik, baik yang melibatkan kepentingan antar individu dalam masyarakat, hubungan antar masyarakat, masyarakat dan negara maupun antar negara di dunia.

Sebagai sebuah konsep, demokrasi memiliki makna luas dan mengandung banyak elemen yang kompleks. Demokrasi adalah suatu metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara.

Akar sejarah ide demokrasi, yang sekarang berkembang dengan amat pesat, tidak bisa
dilepaskan dari sejarah gelap Eropa abad pertengahan. Hal itu adalah realitas sejarah yang tidak dapat diingkari. Ketika itu, para cendekiawan Eropa melancarkan seruan pentingnya penentangan terhadap dominasi kaum gerejawan terhadap kehidupan umum. Mereka menyerukan agar peranan agamawan dibatasi hanya di dalam lingkungan gereja. Sementara di luar lingkungan gereja, masyarakat umum yang bukan gerejawan berhak menentukan pandangan, sikap, dan kebijakan mengenai kehidupan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan publik.

Tentu saja, cara berpikir dan pandangan seperti itu berdampak sangat luas terhadap sikap dan pandangan tentang kehidupan. Dalam dunia pemikiran, cara berpikir seperti itu, dikenal secara luas sebagai cara berpikir sekularistik (pendangkalan agama). Faktanya demokrasi lahir dari pergulatan antara rasionalitas dan kuasa gereja ketika itu. Maka bentuk pemerintahan sekuler menjadi satu-satunya solusi agar pemerintahan despotik dan otoritarian yang dikuasai kaum gerejawan tidak berlanjut.

Secara umum pandangan bahwa esensi demokrasi adalah kedaulatan rakyat hampir menjadi keyakinan sebagian besar masyarakat manusia sekarang ini. Sedangkan kedaulatan rakyat umumnya dimaknai bahwa sumber kekuasaan pemerintah atau negara adalah rakyat. Dengan kata lain rakyatlah yang menjadi sumber keabsahan kekuasaan negara. Oleh karena itu, tanpa persetujuan rakyat, kekuasaan negara tak memeroleh legitimasi dan legalitas yang meyakinkan.

Atas dasar itu, seharusnya dalam negara yang menganut sistem demokrasi rakyat mendapatkan manfaat dari keberadaan suatu pemerintahan dan negara. Sebab esensi lain dari keberadaan suatu pemerintahan dan negara adalah bahwa mengatur dan mengurus rakyat adalah kewajiban negara. Maka demokrasi merupakan wadah masyarakat atau rakyat untuk memilih seseorang yang akan memimpin dan melayani mereka dalam berbagai kehidupan umum. Konsekuensinya para pimpinan di sebuah negara demokrasi bukan orang yang dibenci oleh rakyatnya, sistem yang dijalankannya bukan yang tidak dikehendaki melainkan yang sejalan dengan arah pemkiran rakyatnya.

Namun dalam praktik realitas demokrasi di manapun di dunia ini ditemukan sejumlah ironi. Bahkan dalam banyak hal sudah jelas bertentangan dengan esensi demokrasi itu sendiri. Yang paling mudah ditemukan dan nyaris menjadi fenomena umum di setiap negara yang menganut sistem demokrasi ialah fenomena menguatnya apa yang disebut tirani.

Dalam sebuah negara yang kekuasaanya dikendalikan penuh oleh tirani sangat berpotensi menjungkirbalikkan tata nilai. Oleh karena itu, dalam sistem pemerintahan yang dikuasai tirani bisa jadi sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dikendaki oleh nilai-nilai sosialkemasyarakatan yaitu kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Oleh sebab itu, dalam sistem demokrasi pula berbagai penyimpangan, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, mudah ditemukan bahkan nyaris menjadi asas peri kehidupan di negara demokrasi. Hal itu dikarenakan dalam proses pelaksanaan demokrasi alam kaitan pemilihan pemimpin masih disuguhi berbagai kecurangan yang dilakukan oleh para kandidat atau partai pengusungnya.

Salah satu kecurangan Pemilu adalah politik uang yang memaksa masyarakat untuk memilih peserta Pemilu yang melakukan politik uang tersebut. Setidak-tidaknya ada 2 subjek yang menyebabkan merebaknya praktik politik uang, yaitu peserta pemilu dan masyarakat sebagai pemilih.

Pada umumnya para calon yang pernah mencalonkan diri pada Pemilu sebelumnya lebih ahli dalam politik uang dan dipastikan akan mengulang hal yang sama. Adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para calon yang justru melahirkan efek negatif bagi para elit dengan cara politik uang sering dijadikan alasan untuk melakukan politik uang. Akibatnya masyarakat pun sangat antusias kepada calon yang banyak memberikan uang dan selanjutnya masyarakat pun merasa “berutang budi” pada calon tersebut. Biasanya peserta Pemilu yang tidak memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat akan lebih mengandalkan politik uang. Akibatnya kasus pembelian suara dengan politik uang selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan Pilpres, Pilkada, atau Pileg.

Meskipun populer dan dianggap terbaik, demokrasi nyatanya adalah sistem yang sangat mahal. Demokrasi membutuhkan biaya tinggi. Saat memberikan pidato kenegaraan di Gedung MPR/DPR, 16 Agustus beberapa tahun lalu, Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bahkan cemas dan prihatin dengan perkembangan demokrasi yang semakin mahal ini. Meluasnya politik uang, kata SBY, hanya membawa kesengsaraan bagi rakyat dan merusak demokrasi yang dibangun. Praktik politik uang, katanya, pasti diterima oleh pelakunya dikembalikan modal yang telah dikeluarkan.

Demokrasi sejatinya sistem yang cacat sejak lahirnya. Sementara sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau aturan massa. Ia mencerminkan demokrasi sebagai sistem yang bobrok, karena pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkhisme.

Menurut Aristoteles bila negara dipegang oleh banyak orang (lewat perwakilan legislatif) akan berbuah petaka. Dalam bukunya “Politik”, Aristoteles menyebut demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk. Sesuai dengan pemerintahan yang dilakukan oleh kelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok yang akan dengan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkhis, menjadi ajang pertarungan konflik kepentingan berbagai kelompok sosial
dan pertarungan elit kekuasaan.

Mungkin di masa kini kita, di abad kecanggihan informasi dan komunikasi yang belum pernah dicapai oleh manusia sebelumnya, demokrasi adalah kata atau istilah yang paling mendominasi perbincangan di berbagai pertemuan. 

Begitu luasnya wacana tentang demokrasi, sehingga istilah ini nyaris menjadi menu perbincangan keseharian manusia.

Di sisi lain, demokrasi seolah-olah telah menjadi standar keberadaban suatu bangsa. Oleh sebab itu, jika suatu bangsa, negara, atau kelompok tertentu, bahkan seorang individu, diberi lebel tidak demokratis akan merasa malu besar. Akibatnya kata “anti demokrasi” telah menjadi alat stigma yang cukup efektif untuk menjatuhkan pamor suatu bangsa, masyarakat, kelompok, atau individu.

Makna demokrasi akan semakin kelabu ketika ia dipraktikkan oleh penguasa yang dalam menjalankan kekuasaannya sekedar untuk menghindari sebutan antidemokrasi pada rezimnya. Demokrasi menjadi lebih kabur esensinya jika penerapannya menggunakan kekuatan dan kekerasan, seperti yang terjadi di Irak dan Afghanistan sekarang ini.

Bagaimana di Indonesia? Apa yang bisa kita harapkan dari demokrasi sekarang ini? Cita-cita demokrasi yang substansial, dalam praktek sehari-hari tampaknya kian lama kian menjauh. Demokrasi kita hanya diterjemahkan seperti sebagai rezim partai. Bahkan dalam kenyataannya meninggalkan rakyat yang seharusnya menjadi pemilik kedaulatan politik. Dan rakyat benar-benar menjadi pelaku yang pasif di sini. Mereka memilih, tapi tak bebas memilih. Yang bisa mereka pilih hanyalah mereka yang sudah dapat dipilih, dan tidak dari setiap mereka sudah mewakili semua aspirasi rakyat. Bagaimana ini mau dibilang sebagai sistem yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat?

Rakyat Indonesia pun terbodohi. Dan mereka yang membodohi telah sukses membuat ribuan rakyat negara ini menjadi bodoh. Atau pembodohan yang terselip dalam sistem demokrasi di negara ini hanyalah sebuah kecelakaan?

Kini rakyat Indonesia menjadi terlanjur cinta pada satu sosok. Satu figur. Tanpa sadar sosok tersebut tidaklah bekerja sendirian. Ia bekerja sebagai sebuah tim. Dan ketika tim tersebut pecah, bisakah sosok tersebut bekerja dengan sama baiknya seperti sebelumnya?

Ah, rumit sekali! 

Kekacauan Paradigma Demokrasi

Kekacauan Paradigma Demokrasi


Oleh: Ekten Deaf Pariske 
(Sekjend DEMA IAIN Kerinci Periode 2018-2019) 

KERINCINEWS.COM, KERINCI - Istilah demokrasi pada dua dasawarsa terakhir, khususnya di berbagai negara berkembang kian populer, baik pada tingkat wacana maupun arus gerakan sosial politik. Sebagai suatu sistem politik, demokrasi telah menempati tingkatan teratas yang diterima oleh banyaknegara karena dianggap mampu mengatur dan menyelesaikan hubungan sosial dan politik, baik yang melibatkan kepentingan antar individu dalam masyarakat, hubungan antar masyarakat, masyarakat dan negara maupun antar negara di dunia.

Sebagai sebuah konsep, demokrasi memiliki makna luas dan mengandung banyak elemen yang kompleks. Demokrasi adalah suatu metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara.

Akar sejarah ide demokrasi, yang sekarang berkembang dengan amat pesat, tidak bisa
dilepaskan dari sejarah gelap Eropa abad pertengahan. Hal itu adalah realitas sejarah yang tidak dapat diingkari. Ketika itu, para cendekiawan Eropa melancarkan seruan pentingnya penentangan terhadap dominasi kaum gerejawan terhadap kehidupan umum. Mereka menyerukan agar peranan agamawan dibatasi hanya di dalam lingkungan gereja. Sementara di luar lingkungan gereja, masyarakat umum yang bukan gerejawan berhak menentukan pandangan, sikap, dan kebijakan mengenai kehidupan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan publik.

Tentu saja, cara berpikir dan pandangan seperti itu berdampak sangat luas terhadap sikap dan pandangan tentang kehidupan. Dalam dunia pemikiran, cara berpikir seperti itu, dikenal secara luas sebagai cara berpikir sekularistik (pendangkalan agama). Faktanya demokrasi lahir dari pergulatan antara rasionalitas dan kuasa gereja ketika itu. Maka bentuk pemerintahan sekuler menjadi satu-satunya solusi agar pemerintahan despotik dan otoritarian yang dikuasai kaum gerejawan tidak berlanjut.

Secara umum pandangan bahwa esensi demokrasi adalah kedaulatan rakyat hampir menjadi keyakinan sebagian besar masyarakat manusia sekarang ini. Sedangkan kedaulatan rakyat umumnya dimaknai bahwa sumber kekuasaan pemerintah atau negara adalah rakyat. Dengan kata lain rakyatlah yang menjadi sumber keabsahan kekuasaan negara. Oleh karena itu, tanpa persetujuan rakyat, kekuasaan negara tak memeroleh legitimasi dan legalitas yang meyakinkan.

Atas dasar itu, seharusnya dalam negara yang menganut sistem demokrasi rakyat mendapatkan manfaat dari keberadaan suatu pemerintahan dan negara. Sebab esensi lain dari keberadaan suatu pemerintahan dan negara adalah bahwa mengatur dan mengurus rakyat adalah kewajiban negara. Maka demokrasi merupakan wadah masyarakat atau rakyat untuk memilih seseorang yang akan memimpin dan melayani mereka dalam berbagai kehidupan umum. Konsekuensinya para pimpinan di sebuah negara demokrasi bukan orang yang dibenci oleh rakyatnya, sistem yang dijalankannya bukan yang tidak dikehendaki melainkan yang sejalan dengan arah pemkiran rakyatnya.

Namun dalam praktik realitas demokrasi di manapun di dunia ini ditemukan sejumlah ironi. Bahkan dalam banyak hal sudah jelas bertentangan dengan esensi demokrasi itu sendiri. Yang paling mudah ditemukan dan nyaris menjadi fenomena umum di setiap negara yang menganut sistem demokrasi ialah fenomena menguatnya apa yang disebut tirani.

Dalam sebuah negara yang kekuasaanya dikendalikan penuh oleh tirani sangat berpotensi menjungkirbalikkan tata nilai. Oleh karena itu, dalam sistem pemerintahan yang dikuasai tirani bisa jadi sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dikendaki oleh nilai-nilai sosialkemasyarakatan yaitu kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Oleh sebab itu, dalam sistem demokrasi pula berbagai penyimpangan, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, mudah ditemukan bahkan nyaris menjadi asas peri kehidupan di negara demokrasi. Hal itu dikarenakan dalam proses pelaksanaan demokrasi alam kaitan pemilihan pemimpin masih disuguhi berbagai kecurangan yang dilakukan oleh para kandidat atau partai pengusungnya.

Salah satu kecurangan Pemilu adalah politik uang yang memaksa masyarakat untuk memilih peserta Pemilu yang melakukan politik uang tersebut. Setidak-tidaknya ada 2 subjek yang menyebabkan merebaknya praktik politik uang, yaitu peserta pemilu dan masyarakat sebagai pemilih.

Pada umumnya para calon yang pernah mencalonkan diri pada Pemilu sebelumnya lebih ahli dalam politik uang dan dipastikan akan mengulang hal yang sama. Adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para calon yang justru melahirkan efek negatif bagi para elit dengan cara politik uang sering dijadikan alasan untuk melakukan politik uang. Akibatnya masyarakat pun sangat antusias kepada calon yang banyak memberikan uang dan selanjutnya masyarakat pun merasa “berutang budi” pada calon tersebut. Biasanya peserta Pemilu yang tidak memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat akan lebih mengandalkan politik uang. Akibatnya kasus pembelian suara dengan politik uang selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan Pilpres, Pilkada, atau Pileg.

Meskipun populer dan dianggap terbaik, demokrasi nyatanya adalah sistem yang sangat mahal. Demokrasi membutuhkan biaya tinggi. Saat memberikan pidato kenegaraan di Gedung MPR/DPR, 16 Agustus beberapa tahun lalu, Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bahkan cemas dan prihatin dengan perkembangan demokrasi yang semakin mahal ini. Meluasnya politik uang, kata SBY, hanya membawa kesengsaraan bagi rakyat dan merusak demokrasi yang dibangun. Praktik politik uang, katanya, pasti diterima oleh pelakunya dikembalikan modal yang telah dikeluarkan.

Demokrasi sejatinya sistem yang cacat sejak lahirnya. Sementara sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau aturan massa. Ia mencerminkan demokrasi sebagai sistem yang bobrok, karena pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkhisme.

Menurut Aristoteles bila negara dipegang oleh banyak orang (lewat perwakilan legislatif) akan berbuah petaka. Dalam bukunya “Politik”, Aristoteles menyebut demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk. Sesuai dengan pemerintahan yang dilakukan oleh kelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok yang akan dengan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkhis, menjadi ajang pertarungan konflik kepentingan berbagai kelompok sosial
dan pertarungan elit kekuasaan.

Mungkin di masa kini kita, di abad kecanggihan informasi dan komunikasi yang belum pernah dicapai oleh manusia sebelumnya, demokrasi adalah kata atau istilah yang paling mendominasi perbincangan di berbagai pertemuan. 

Begitu luasnya wacana tentang demokrasi, sehingga istilah ini nyaris menjadi menu perbincangan keseharian manusia.

Di sisi lain, demokrasi seolah-olah telah menjadi standar keberadaban suatu bangsa. Oleh sebab itu, jika suatu bangsa, negara, atau kelompok tertentu, bahkan seorang individu, diberi lebel tidak demokratis akan merasa malu besar. Akibatnya kata “anti demokrasi” telah menjadi alat stigma yang cukup efektif untuk menjatuhkan pamor suatu bangsa, masyarakat, kelompok, atau individu.

Makna demokrasi akan semakin kelabu ketika ia dipraktikkan oleh penguasa yang dalam menjalankan kekuasaannya sekedar untuk menghindari sebutan antidemokrasi pada rezimnya. Demokrasi menjadi lebih kabur esensinya jika penerapannya menggunakan kekuatan dan kekerasan, seperti yang terjadi di Irak dan Afghanistan sekarang ini.

Bagaimana di Indonesia? Apa yang bisa kita harapkan dari demokrasi sekarang ini? Cita-cita demokrasi yang substansial, dalam praktek sehari-hari tampaknya kian lama kian menjauh. Demokrasi kita hanya diterjemahkan seperti sebagai rezim partai. Bahkan dalam kenyataannya meninggalkan rakyat yang seharusnya menjadi pemilik kedaulatan politik. Dan rakyat benar-benar menjadi pelaku yang pasif di sini. Mereka memilih, tapi tak bebas memilih. Yang bisa mereka pilih hanyalah mereka yang sudah dapat dipilih, dan tidak dari setiap mereka sudah mewakili semua aspirasi rakyat. Bagaimana ini mau dibilang sebagai sistem yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat?

Rakyat Indonesia pun terbodohi. Dan mereka yang membodohi telah sukses membuat ribuan rakyat negara ini menjadi bodoh. Atau pembodohan yang terselip dalam sistem demokrasi di negara ini hanyalah sebuah kecelakaan?

Kini rakyat Indonesia menjadi terlanjur cinta pada satu sosok. Satu figur. Tanpa sadar sosok tersebut tidaklah bekerja sendirian. Ia bekerja sebagai sebuah tim. Dan ketika tim tersebut pecah, bisakah sosok tersebut bekerja dengan sama baiknya seperti sebelumnya?

Ah, rumit sekali! 

Our Blog

55 Cups
Average weekly coffee drank
9000 Lines
Average weekly lines of code
400 Customers
Average yearly happy clients

Our Team

Tim Malkovic
CEO
David Bell
Creative Designer
Eve Stinger
Sales Manager
Will Peters
Developer

Contact

Talk to us

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Dolores iusto fugit esse soluta quae debitis quibusdam harum voluptatem, maxime, aliquam sequi. Tempora ipsum magni unde velit corporis fuga, necessitatibus blanditiis.

Address:

9983 City name, Street name, 232 Apartment C

Work Time:

Monday - Friday from 9am to 5pm

Phone:

595 12 34 567

JSON Variables

Random Posts

{getFeatured} $results={5} $label={recent}